My awesome top bar
My awesome top bar

Memacu Pendalaman Pasar Keuangan

Dana Moneter International (IMF) dalam outlook ekonomi terbarunya yang dirilis awal Oktober 2018 kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2018-2019 masing-masing menjadi 3,7 persen dari proyeksi di April 2018 masing-masing sebesar 3,9 persen.

Ketidakmerataan pertumbuhan ekonomi global juga menyertai penurunan pertumbuhan ini. Perekonomian Amerika Serikat (AS) akan cenderung melaju. Sementara, pertumbuhan ekonomi di kawasan Eropa, Jepang, dan beberapa negara-negara di kawasan pasar bertumbuh (emerging market) akan cenderung mengalami pelambatan.

Turunnya proyeksi pertumbuhan ekonomi global ini tidak dapat dilepaskan dari meningkatnya ketidakpastian yang didorong oleh sejumlah faktor, seperti eskalasi perang dagang antara AS dan China, pengetatan moneter di negara-negara maju, khususnya di AS, ketidakpastian geopolitik (brexit), tekanan fiskal di Italia, tren harga harga minyak dunia yang masih cenderung naik, dan meningkatnya risiko krisis nilai tukar di kawasan emerging market yang mendorong aliran modal keluar (capital outflow).

Pelambatan ekonomi global dan meningkatnya ketidakpastian ini memberi dampak terganggunya stabilitas makroekonomi Indonesia, khususnya nilai tukar rupiah. Sampai saat ini, rupiah belum bisa lepas dari tekanan. Bahkan, pada (11/10/2018), berdasarkan kurs referensi Jakarta Inter Bank Spot Dollar Rate (JISDOR), rupiah telah menembus level Rp 15.253 per dolar AS. Ini merupakan level terburuk sejak krisis moneter tahun 1998.

Potensi rupiah untuk kembali melemah ke depannya masih terbuka. Apalagi, Bank Sentral AS (The Fed) masih berpeluang untuk kembali menaikkan suku bunga kebijakannya pada Desember 2018. Kebijakan ini tentu akan memicu tekanan pada rupiah. Itulah sebabnya, mengingat masih banyaknya ketidakpastian (noise) ke depannya, membuat pemerintah dan Bank Indonesia (BI) menjadi lebih realistis dalam memproyeksikan arah rupiah. Dalam APBN 2019, pemerintah menurunkan proyeksi rupiah dari sebelumnya Rp 14.400 per dolar AS menjadi Rp 15.000 per dolar AS.

Memicu Kerentanan

Tekanan dan gejolak yang dialami rupiah akan memberi implikasi pada meningkatnya kerentanan di pasar keuangan, khususnya di pasar portofolio (saham dan Surat Berharga Negara (SBN)). Tekanan yang terjadi di pasar saham dan Surat Berharga Negara (SBN) sampai saat ini menjadi manifestasi dari kerentanan ini. Rentannya pasar keuangan domestik ini di saat terjadi gejolak eksternal tidak dapat dilepaskan dominasi kepemilikan investor asing di saham dan SBN.

Nilai transaksi rata-rata harian terbesar masih dikontribusikan oleh investor asing. Sampai dengan akhir September 2018, porsi kepemilikan investor asing di pasar saham dan Surat Berharga Negara (SBN) masing-masing mencapai Rp 3.166 triliun dan Rp 846 triliun. 

Meski aliran modal asing di pasar portofolio ini sangat mudah memicu kerentanan terhadap perekonomian, ketika ketidakpastian eksternal meningkat. Namun, aliran modal ini tetap dibutuhkan. Hal ini sebagai konsekuensi dari lebarnya celah antara tabungan dengan investasi (saving/investment gap) untuk membiayai pembangunan ekonomi.

Berdasarkan data Bank Dunia, sampai tahun 2017, rasio tabungan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang dimiliki Indonesia ‘hanya’ 30%. Rasio ini lebih rendah dibandingkan dengan China (47% dari PDB), India (32% dari PDB), Korea Selatan (36% dari PDB), Filipina (44% dari PDB), dan Singapura (48% dari PDB).

Sebenarnya, Indonesia bisa menarik aliran modal asing yang lebih ‘aman’ dari gejolak ketidakpastian eksternal yang berasal dari Investasi Asing Langsung (Foreign Direct Investement/FDI). Dan untuk menarik aliran modal jenis ini dibutuhkan iklim investasi yang baik dan kondusif.

Di sinilah masalahnya, Indonesia belum mampu menyediakan iklim investasi yang baik dan kondusif, seperti yang diberikan oleh negara tetangga.  Dan ini masih pekerjaan besar pemerintah.Tertinggalnya Indonesia dalam memberikan iklim investasi yang baik dan kondusif tecermin dari peringkat kemudahan berusaha. Pada tahun 2017, Indonesia berada di peringkat 91. Lebih rendah dari Malaysia (23), Thailand (46), dan China (78).

Pendalaman Pasar Keuangan

Mengingat masih banyaknya pekerjaan rumah dalam memacu perbaikan iklim investasi, maka aliran  modal asing akan terus dirangsang masuk ke pasar keuangan. Stabilitas makroekonomi pun bisa terganggu, ketika ketidakpastian eksternal meningkat. Itulah sebabnya, agar aliran modal asing ini tidak terus-terusan menggangu stabilitas makroekeonomi, maka pendalaman pasar keuangan harus terus dipacu. Pasar keuangan yang makin dalam akan sangat efektif dalam meredam ketidakpastian eksternal yang makin kerap bermunculan.

Studi empiris juga mengonfirmasi hal ini. Studi yang dilakukan oleh Hajilee, M & Al Nasser, O (2016) dan Bristy, H.J (2014) menunjukkan bahwa pendalaman sektor keuangan memiliki korelasi positif terhadap stabilitas nilai tukar sebuah negara.

Studi Dabla-Norris dan Srivisal (2013) juga menunjukkan  bahwa pasar keuangan yang makin dalam selain efektif meredam volatilitas makroekonomi (pertumbuhan ekonomi, konsumsi, dan investasi), juga dapat menjadi shock absorber untuk meredakan efek negatif dari tekanan eskternal.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah dan otoritas di sektor keuangan (OJK, BI, BEI) secara aktif untuk terus mendorong pendalaman pasar keuangan. Bahkan, pendalaman pasar keuangan telah menjadi prioritas nasional dengan diterbitkannya Peraturan Presiden No 82 tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga turut memberikan dukungan dalam mendorong pendalaman pasar keuangan dengan terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 7/POJK.07/2016 tentang peningkatan literasi dan inklusi di sektor jasa keuangan.

Dari sisi penawaran (supply), OJK dan BEI terus mempermudah regulasi dalam mendorong korporasi untuk go public. Selain itu, diversifikasi produk-produk investasi juga terus didorong, khususnya produk investasi syariah dan produk investasi di sektor riil.

Dari sisi permintaan (demand), OJK dan BEI juga terus mendorong masyarakat untuk berinvestasi. Mendorong literasi dan edukasi, khususnya di komunitas-komunitas masyarakat dan sekolah-sekolah.

Berbagai program terus diluncurkan untuk menarik minat masyarakat untuk berinvestasi. Salah satunya, Yuk Nabung Saham yang diluncurkan pada tahun 2015 yang diklaim mampu meningkatkan jumlah investor pasar modal Indonesia.

Sampai dengan Maret 2018, jumlah investor pasar modal mencapai 1,21 juta Single Investor Identificatioan (SID). Jumlah ini naik 26,5% dari periode yang sama tahun 2017. Meski begitu, masih banyak tantangan di lapangan untuk merealisasikannya pendalaman pasar keuangan itu. Itulah sebabnya, kolaborasi semua pihak sangat dibutuhkan untuk merealisasikan pendalaman pasar keuangan ini, khususnya dalam mendorong literasi dan edukasi. 

Melalui edukasi dan literasi inilah yang dapat mengubah mind set masyarakat dari masyarakat menabung menjadi masyarakat berinvestasi. Dan melalui nasihat Lee Kheng Hong (LKH) yang juga dijuluki sebagai Warren Buffet Indonesia, salah satu jalan untuk melipatgandakan kesejahteraan dan kebebasan keuangan ialah dengan berinvestasi di pasar modal sejak dini. Betulkah? LHK telah membuktikannya. Dan, kini giliran Anda.


Kembali

Kembangkan Skala Finansial Anda

Investasi Sekarang

Jangan biarkan kesempatan berlalu, kami siap membantu anda meraih masa depan yang lebih baik.

Daftarkan diri anda melalui online form kami atau jika anda membutuhkan informasi lebih, biarkan petugas kami yang menghubungi anda.


Form Investasi     Hubungi Saya