My awesome top bar
My awesome top bar

Memompa Daya Beli

Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di paruh II-2017 sebesar 5,01% (yoy). Capaian ini sama seperti realisasi di paruh I-2017. Penghela utama pertumbuhan ini masih tetap konsumsi dan investasi yang masing-masing tumbuh sebesar 4,95% dan 5,35%.

Sementara, belanja pemerintah terkontraksi sebesar 1,95% imbas dari pemangkasan belanja dan ekspor tumbuh sebesar 3,36%. Harga komoditas yang masih fluktuatif masih memengaruhi kinerja ekspor.

Dari data statistik pertumbuhan ekonomi ini, kinerja konsumsi (daya beli) mendapat sorotan tajam, karena daya beli yang terus melambat.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi sepanjang tahun 2012-2017 cenderung melambat, yaitu 5,28% (2012), 5,28% (2013), 5,14% (2014), 4,96% (2015), dan 4,94% (semester I-2017).

Perlambatan daya beli ini menekan kinerja sejumlah sektor usaha (meski beberapa di antara naik, seperti restoran dan hotel). Sejumlah pelaku usaha di sektor otomotif, ritel, makanan dan minuman, semen, dan elektronik mengeluh dengan kemerosotan kinerja pendapatan.  

Bahkan, lebaran lalu yang biasanya menjadi momentum untuk mendongkrak pendapatan, tidak terjadi. Sektor ritel, misalnya, sampai semester I-2017 hanya tumbuh sekitar 3,6%-3,8%. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu masih tumbuh sebesar 7%-8%. Bahkan, sejumlah perusahaan ritel harus menutup sejumlah gerai demi efisiensi agar tidak menggerus laba, seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh PT Matahari Department Store, Tbk dan PT Ramayana Lestari Sentosa, Tbk.

Lesunya kinerja usaha ditataran mikro ini, berkebalikan dengan kinerja ditataran makro. Sampai semester I-2017, sejumlah indikator makro menunjukkan kinerja yang solid, seperti inflasi yang rendah, nilai tukar yang menguat dan stabil, cadangan devisa yang meningkat, suku bunga turun, defisit transaksi berjalan (DTB) yang sehat.

Situasi inilah yang membuat sejumlah pihak menuding telah terjadi anomali terhadap perekonomian Indonesia, karena antara indikator makro dan mikro, seolah tidak ‘nyambung’.

Apa sebenarnya yang membuat tren daya beli ini melambat? Pertama, harga komoditas yang masih tertekan. Perlu diketahui boom harga komoditas di masa lalu, telah menambah jumlah kelas menengah baru dan mengubah pola gaya hidup menjadi lebih konsumtif.

Namun, sejak boom harga komoditas berakhir, kelas menengah baru ini mulai mengerem konsumsi. Mereka tidak lagi jor-joran untuk mengonsumsi.

Kedua perubahan skema subsidi yang dilakukan oleh pemerintah. Pemangkasan subsidi listrik, misalnya, telah mendorong kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL). Kenaikan TDL yang paling signifikan terjadi untuk golongan 900 VA yang notabene merupakan kelompok menengah bawah.

Kenaikan TDL ini membuat masyarakat harus mengatur ulang alokasi belanja. Masyarakat lebih selektif untuk mengonsumsi.

Ketiga mandeknya tingkat pendapatan. Dalam dua tahun terakhir, misalnya, gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak mengalami kenaikan. Demikian pendapatan kelompok petani dan buruh bangunan justru mengalami kemerosotan. cenderung merosot. Mandeknya pendapatan ini akan memengaruhi kemampuan daya beli.

Kempat situasi ekonomi global yang belum menentu dan kondisi ekonomi domestik yang masih mendatar membuat kelompok masyarakat atas juga memilih untuk menahan konsumsi dan mengalihkannya untuk investasi dan tabungan.

Indikasi ini tecermin dari jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) di tabungan dan deposito pada Mei 2017 menembus Rp 5,01 ribu triliun. DPK ini tumbuh sebesar 11,8% (YoY) melampaui pertumbuhan kredit sebesar 8,71% (YoY).

Sejumlah Kebijakan

Oleh sebab itulah, pemerintah diharapkan dapat membuat terobosan kebijakan agar perlambatan daya beli ini tidak terjadi secara permanen.

Pemerintah bisa saja saat ini fokus untuk mengejar pembangunan infrastruktur untuk mendorong daya saing perekonomian yang dampaknya akan positif pada perekonomian di masa mendatang.  Namun, pemerintah juga jangan alfa dengan kondisi jangka pendek untuk memompa daya beli masyarakat.  Tidak dapat dinafikan, konsumsi masih tetap jadi motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi.

Bahkan, Guru Besar Ekonomi dari Universitas Princeton yang juga penerima nobel ekonomi tahun 2015, Angus Deaton menyatakan bahwa konsumsi memiliki peran sentral dalam perekonomian. Ia menciptakan teori prisma konsumsi yang dapat dipakai untuk melihat tingkat resesi, kemiskinan, dan kemakmuran.

Untuk itulah, beberapa kebijakan yang dapat dilakukan untuk memompa daya beli ini, yaitu pertama pemerintah harus memastikan terjadi akselerasi dalam penyerapan anggaran, khususnya di daerah yang sampai saat ini kinerjanya masih rendah. Bukan itu saja, pemerintah diharapkan tidak lagi melakukan pemangkasan belanja.

Kedua pemerintah bisa menimbang untuk memberikan insentif pajak, misalnya, di sektor konsumsi dan turunannya. Kebijakan diharapkan akan membua harga turun.

Imbasnya bisa merangsang konsumsi masyarakat, meski pendapatan stagnan. Kebijakan seperti ini pernah berhasil dilakukan pemerintah Jepang tahun 2013 untuk mengungkit kelesuan daya beli ini.

Ketiga menjaga iklim investasi. Hal ini diharapkan akan mendorong aliran investasi, khususnya investasi ke sektor-sektor padat karya. Imbasnya akan membuka kesempatan kerja dan berimbas pada kemampuan daya beli. Di semester I-2017, realisasi investasi langsung sebesar Rp 336,7 triliun atau tumbuh 12,9% (BKPM, 2017). Namun, investasi ini berimbas dalam mendorong daya beli.

Dengan kata lain, investasi yang besar sepertinya lebih banyak terkonsentrasi di sektor padat modal yang minim dalam penyerapan tenaga kerja. Mengapa ini terjadi? Salah satunya, dipengaruhi oleh buruknya iklim investasi.

Keempat melalui stimulus moneter. Bank Indonesia bisa menimbang lagi untuk merelaksasi kebijakan moneter dengan menurunkan suku acuan.  Apalagi, saat ini inflasi dan nilai tukar relatif rendah dan stabil.  Penurunan suku bunga acuan ini diharapkan akan merangsang masyarakat untuk menarik kredit.

Bukan itu saja, BI juga bisa merelaksasi kebijakan Loan to Value (LTV) yang juga diharapkan dapat merangsang permintaan terhadap KPR dan KKB. Di negara maju, stimulus moneter cukup efektif untuk mengungkit daya beli.  


Kembali

Kembangkan Skala Finansial Anda

Investasi Sekarang

Jangan biarkan kesempatan berlalu, kami siap membantu anda meraih masa depan yang lebih baik.

Daftarkan diri anda melalui online form kami atau jika anda membutuhkan informasi lebih, biarkan petugas kami yang menghubungi anda.


Form Investasi     Hubungi Saya